Jumat, 20 September 2013

Imam Syafi'i


Di kampung miskin di kota Ghazzah (orang Barat menyebutnya Gaza ) di bumi Palestina, pada th. 150 H (bertepatan dengan th. 694 M) lahirlah seorang bayi lelaki dari pasangan suami istri yang berbahagia, Idris bin Abbas Asy-Syafi`ie dengan seorang wanita dari suku Azad. Bayi lelaki keturunan Quraisy ini akhirnya dinamai Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie . Demikian nama lengkapnya sang bayi itu. Namun kebahagiaan keluarga miskin ini dengan kelahiran bayi tersebut tidaklah berlangsung lama. Karena beberapa saat setelah kelahiran itu, terjadilah peristiwa menyedihkan, yaitu ayah sang bayi meninggal dunia dalam usia yang masih muda. Bayi lelaki yang rupawan itu pun akhirnya hidup sebagai anak yatim.
Sang ibu sangat menyayangi bayinya, sehingga anak yatim Quraisy itu tumbuh sebagai bayi yang sehat. Maka ketika ia telah berusia dua tahun, dibawalah oleh ibunya ke Makkah untuk tinggal di tengah keluarga ayahnya di kampung Bani Mutthalib. Karena anak yatim ini, dari sisi nasab ayahnya, berasal dari keturunan seorang Shahabat Nabi صلي الله عليه وسلم yang bernama Syafi bin As-Saib. Dan As-Saib ayahnya Syafi, sempat tertawan dalam perang Badr sebagai seorang musyrik kemudian As-Saib menebus dirinya dengan uang jaminan untuk mendapatkan status pembebasan dari tawanan Muslimin. Dan setelah dia dibebaskan, iapun masuk Islam di tangan Rasulullah صلي الله عليه وسلم. Maka nasab bayi yatim ini secara lengkap adalah sebagai berikut: Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi bin As-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Kaab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Maad bin Adnan. Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم. Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم, bernama Syifa, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Saib, ayahnya Syafi. Kepada Syafi bin As-Saib رضي الله عنهما inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم. Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.” (HR. Abu Nuaim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 66).
Di lingkungan Bani Al-Mutthalib, dia tumbuh menjadi anak lelaki yang penuh vitalitas. Di usia kanak-kanaknya, dia sibuk dengan latihan memanah sehingga di kalangan teman sebayanya, dia amat jitu memanah. Bahkan dari sepuluh anak panah yang dilemparkannya, sepuluh yang kena sasaran, sehingga dia terkenal sebagai anak muda yang ahli memanah. Demikian terus kesibukannya dalam panah memanah sehingga ada seorang ahli kedokteran medis waktu itu yang menasehatinya. Dokter itu menyatakan kepadanya: “Bila engkau terus menerus demikian, maka sangat dikuatirkan akan terkena penyakit luka pada paru-parumu karena engkau terlalu banyak berdiri di bawah panas terik mata hari.” Maka mulailah anak yatim ini mengurangi kegiatan panah memanah dan mengisi waktu dengan belajar bahasa Arab dan menekuni bait-bait syair Arab sehingga dalam sekejab, anak muda dari Quraisy ini menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan syairnya dalam usia kanak-kanak. Di samping itu dia juga menghafal Al-Quran, sehingga pada usia tujuh tahun telah menghafal di luar kepala Al-Quran keseluruhannya.
Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan syairnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Said bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama fiqih sebagaimana tersebut di atas. Ia pun demi kehausan ilmu, akhirnya berangkat dari Makkah menuju Al-Madinah An Nabawiyah guna belajar di halaqah Imam Malik bin Anas di sana. Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah. Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Quran, lebih dari kitab Al-Muwattha .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.” Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Saad, Ismail bin Jafar, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Beliau banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
Ketika Muhammad bin Idris As-Syafii Al-Mutthalibi Al-Qurasyi telah berusia dua puluh tahun, dia sudah memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan Ulama di jamannya dalam berfatwa dan berbagai ilmu yang berkisar pada Al-Quran dan As-Sunnah. Tetapi beliau tidak mau berpuas diri dengan ilmu yang dicapainya. Maka beliaupun berangkat menuju negeri Yaman demi menyerap ilmu dari para Ulamanya. Disebutkanlah sederet Ulama Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Ismail bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sejak di kota Baghdad, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie mulai dikerumuni para muridnya dan mulai menulis berbagai keterangan agama. Juga beliau mulai membantah beberapa keterangan para Imam ahli fiqih, dalam rangka mengikuti sunnah Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم. Kitab fiqih dan Ushul Fiqih pun mulai ditulisnya. Popularitas beliau di dunia Islam yang semakin luas menyebabkan banyak orang semakin kagum dengan ilmunya sehingga orang pun berbondong-bondong mendatangi majelis ilmu beliau untuk menimba ilmu. Tersebutlah tokoh-tokoh ilmu agama ini yang mendatangi majelis beliau untuk menimba ilmu padanya seperti Abu Bakr Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi (beliau ini adalah salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari), Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam, Ahmad bin Hanbal (yang kemudian terkenal dengan nama Imam Hanbali), Sulaiman bin Dawud Al-Hasyimi, Abu Yaqub Yusuf Al-Buaithi, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi, Harmalah bin Yahya, Musa bin Abil Jarud Al-Makki, Abdul Aziz bin Yahya Al-Kinani Al-Makki (pengarang kitab Al-Haidah ), Husain bin Ali Al-Karabisi (beliau ini sempat di tahdzir oleh Imam Ahmad karena berpendapat bahwa lafadh orang yang membaca Al-Quran adalah makhluq), Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizami, Al-Hasan bin Muhammad Az-Zafarani, Ahmad bin Muhammad Al-Azraqi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh ilmu yang lainnya. Dari murid-murid beliau di Baghdad, yang paling terkenal sangat mengagumi beliau adalah Imam Ahmad bin Hanbal atau terkenal dengan gelar Imam Hanbali.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Mizzi dengan sanadnya bersambung kepada Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali). Beliau menceritakan: “Aku pernah bertanya kepada ayahku: “Wahai ayah, siapa sesungguhnya As-Syafi`ie itu, karena aku terus-menerus mendengar ayah mendoakannya?” Maka ayahku menjawab: “Wahai anakku, sesungguhnya As-Syafi`ie itu adalah bagaikan matahari untuk dunia ini, dan ia juga sebagai kesejahteraan bagi sekalian manusia. Maka silakan engkau cari, adakah orang yang seperti beliau dalam dua fungsi ini (yakni fungsi sebagai matahari dan kesejahteraan) dan adakah pengganti fungsi beliau tersebut?.” Diriwayatkan pula bahwa Sulaiman bin Al-Asyats menyatakan: “Aku melihat bahwa Ahmad bin Hanbal tidaklah condong kepada seorangpun seperti condongnya kepada As-Syafi`ie.” Al-Maimuni meriwayatkan bahwa Imam Hanbali menyatakan: “Aku tidak pernah meninggalkan doa kepada Allah di sepertiga terakhir malam untuk enam orang. Salah satunya ialah untuk As-Syafi`ie.” Diriwayatkan pula oleh Imam Shalih bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali): “Pernah ayahku berjalan di samping keledai yang ditumpangi Imam Syafi`ie untuk bertanya-tanya ilmu kepadanya. Maka melihat demikian, Yahya bin Maien sahabat ayahku mengirim orang untuk menegur beliau. Yahya menyatakan kepadanya: “Wahai Aba Abdillah ( kuniah bagi Imam Hanbali), mengapa engkau ridla untuk berjalan dengan keledainya As-Syafi`ie?”. Maka ayah pun menyatakan kepada Yahya: “Wahai Aba Zakaria ( kuniah bagi Yahya bin Maien), seandainya engkau berjalan di sisi lain dari keledai itu, niscaya akan lebih bermanfaat bagimu.” Di samping Imam Hanbali yang sangat mengaguminya, juga diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh nya dengan sanadnya dari Abu Tsaur. Dia menceritakan: “Abdurrahman bin Mahdi pernah menulis surat kepada As-Syafi`ie, dan waktu itu As-Syafi`ie masih muda belia. Dalam surat itu Abdurrahman meminta kepadanya untuk menuliskan untuknya sebuah kitab yang terdapat padanya makna-makna Al Quran, dan juga mengumpulkan berbagai macam tingkatan hadits, keterangan tentang kedudukan ijma (kesepakatan Ulama) sebagai hujjah / dalil, keterangan hukum yang nasikh (yakni hukum yang menghapus hukum lainnya) dan hukum yang mansukh (yakni hukum yang telah dihapus oleh hukum yang lainnya), baik yang ada di dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Maka As-Syafi`ie muda menuliskan untuknya kitab Ar-Risalah dan kemudian dikirimkan kepada Abdurrahman bin Mahdi. Begitu membaca kitab Ar-Risalah ini, Abdurrahman menjadi sangat kagum dan sangat senang kepada As-Syafi`ie sehingga beliau menyatakan: “Setiap aku shalat, aku selalu mendoakan As-Syafi`ie.” Kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi`ie akhirnya menjadi kitab rujukan utama bagi para Ulama dalam ilmu Ushul Fiqih sampai hari ini. Pujian para Ulama dan kekaguman mereka bukan saja datang dari orang-orang yang seangkatan dengan beliau dalam ilmu, akan tetapi datang pula pujian itu dari para Ulama yang menjadi guru beliau. Antara lain ialah Sufyan bin Uyainah, salah seorang guru beliau yang sangat dikaguminya. Sebaliknya Sufyan pun sangat mengagumi Imam As-Syafi`ie, sampai diceritakan oleh Suwaid bin Saied sebagai berikut: “Aku pernah duduk di majelis ilmunya Sufyan bin Uyainah. As-Syafi`ie datang ke majelis itu, masuk sembari mengucapkan salam dan langsung duduk untuk mendengarkan Sufyan yang sedang menyampaikan ilmu. Waktu itu Sufyan sedang membaca sebuah hadits yang sangat menyentuh hati. Betapa lembutnya hati beliau saat mendengar hadits itu menyebabkan As-Syafi`ie mendadak pingsan. Orang-orang di majelis itu menyangka bahwa As-Syafi`ie meninggal dunia sehingga peristiwa ini dilaporkan kepada Sufyan: “Wahai Aba Muhammad (kuniah bagi Sufyan bin Uyainah), Muhammad bin Idris telah meninggal dunia”. Maka Sufyan pun menyatakan: “Bila memang dia meninggal dunia, maka sungguh telah meninggal orang yang terbaik bagi ummat ini di jamannya.” Demikian pujian para Ulama yang sebagiannya kami nukilkan dalam tulisan ini untuk menggambarkan kepada para pembaca sekalian betapa beliau sangat tinggi kedudukannya di kalangan para Ulama yang sejaman dengannya. Apalagi tentunya para ulama yang sesudahnya.
Imam As-Syafi`ie tinggal di Baghdad hanya dua tahun. Setelah itu beliau pindah ke Mesir dan tinggal di sana sampai beliau wafat pada th. 204 H dan usia beliau ketika wafat 54 th. Beliau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai, yaitu ilmu yang beliau tulis di kitab Ar-Risalah dalam ilmu Ushul Fiqih. Di samping itu beliau juga menulis kitab Musnad As-Syafi`ie , berupa kumpulan hadits Nabi صلي الله عليه وسلم yang diriwayatkan oleh beliau; dan kitab Al-Um berupa kumpulan keterangan beliau dalam masalah fiqih. Sebagaimana Al-Um , kumpulan riwayat keterangan Imam As Syafi`ie dalam fiqih juga disusun oleh Al-Imam Al-Baihaqi dan diberi nama Marifatul Aatsar was Sunan . Al-Imam Abu Nuaim Al-Asfahani membawakan beberapa riwayat nasehat dan pernyataan Imam As-Syafi`ie dalam berbagai masalah yang menunjukkan pendirian Imam As-Syafi`ie dalam memahami agama ini. Beberapa riwayat Abu Nuaim tersebut kami nukilkan sebagai berikut :
Imam As-Syafi`ie menyatakan: “Bila aku melihat Ahli Hadits, seakan aku melihat seorang dari Shahabat Nabi صلي الله عليه وسلم.” (HR. Abu Nuaim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 109)
Ini menunjukkan betapa tinggi penghargaan beliau kepada para Ahli Hadits.
Imam As-Syafi`ie menyatakan: “Sungguh seandainya seseorang itu ditimpa dengan berbagai amalan yang dilarang oleh Allah selain dosa syirik, lebih baik baginya daripada dia mempelajari ilmu kalam.” (HR. Abu Nuaim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 111)
Beliau menyatakan juga: “Seandainya manusia itu mengerti bahaya yang ada dalam Ilmu Kalam dan hawa nafsu, niscaya dia akan lari daripadanya seperti dia lari dari macan.”
Ini menunjukkan betapa anti patinya beliau terhadap Ilmu Kalam, suatu ilmu yang membahas perkara Tauhid dengan metode pembahasan ilmu filsafat.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi bin Sulaiman bahwa dia menyatakan: Aku mendengar As-Syafi`ie berkata:
“Barangsiapa mengatakan bahwa Al-Quran itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir.” (HR. Abu Nuaim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 113)
Diriwayatkan pula oleh Abu Nuaim Al-Asfahani bahwa Al-Imam As-Syafi`ie telah mengkafirkan seorang tokoh ahli Ilmu Kalam yang terkenal dengan nama Hafs Al-Fardi, karena dia menyatakan di hadapan beliau bahwa Al-Quran itu adalah makhluk. Demikian tegas Imam As-Syafi`ie dalam menilai mereka yang mengatakan bahwa Al-Quran itu makhluk. Dan memang para Ulama Ahlis Sunnah wal Jamaah telah sepakat untuk mengkafirkan siapa yang meyakini bahwa Al-Quran itu makhluk.
Al-Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan pula dengan sanadnya dari Al-Buwaithie yang menyatakan: “Aku bertanya kepada As-Syafi`ie: Bolehkah aku shalat di belakang imam yang Rafidli?” Maka beliau pun menjawabnya: “Jangan engkau shalat di belakang imam yang Rafidli, ataupun Qadari ataupun Murjiie”. Akupun bertanya lagi kepada beliau: “Terangkan kepadaku tentang siapakah masing-masing dari mereka itu?” Maka beliau pun menjawab: “Barang siapa yang mengatakan bahwa iman itu hanya perkataan lisan dan hati belaka, maka dia itu adalah murjiie; barangsiapa yang mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar itu bukan Imamnya Muslimin, maka dia itu adalah rafidli. Barangsiapa yang mengatakan bahwa kehendak berbuat itu sepenuhnya dari dirinya (yakni tidak meyakini bahwa kehendak berbuat itu diciptakan oleh Allah ), maka dia itu adalah qadari.”
Demikian Imam As-Syafi`i mengajarkan sikap terhadap Ahlil Bidah seperti yang disebutkan contohnya dalam pernyataan beliau, yaitu orang-orang yang mengikuti aliran Rafidlah yang di Indonesia sering dinamakan Syiah. Aliran Syiah terkenal dengan sikap kebencian mereka kepada para Shahabat Nabi صلي الله عليه وسلم, khususnya Abu Bakar dan Umar. Di samping Rafidlah, masih ada aliran bidah lainnya seperti Qadariyah yaitu aliran pemahaman yang menolak beriman kepada rukun iman yang keenam (yaitu keimanan kepada adanya taqdir Allah Ta`ala). Juga aliran Murjiah yang menyatakan bahwa iman itu hanya keyakinan yang ada di hati dan amalan itu tidak termasuk dari iman. Murjiah juga menyatakan bahwa iman itu tidak bertambah dengan perbuatan ketaatan kepada Allah dan tidak pula berkurang dengan kemaksiatan kepada Allah. Semua ini adalah pemikiran sesat, yang menjadi alasan bagi Imam As-Syafi`ie untuk melarang orang shalat di belakang imam yang berpandangan dengan salah satu dari pemikiran-pemikiran sesat ini.
Imam As-Syafi`ie juga amat keras menganjurkan ummat Islam untuk jangan ber taqlid (yakni mengikut dengan membabi buta) kepada seseorang pun sehingga meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah ketika pendapat orang yang diikutinya itu menyelisihi pendapat keduanya. Hal ini dinyatakan oleh beliau dalam beberapa pesan sebagai berikut:
Al-Hafidh Abu Nu`aim Al-Asfahani meriwayatkan dalam Hilyah nya dengan sanad yang shahih riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, katanya: “Ayahku telah menceritakan kepadaku bahwa Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie berkata: “Wahai Aba Abdillah (yakni Ahmad bin Hanbal), engkau lebih mengetahui hadits-hadits shahih dari kami. Maka bila ada hadits yang shahih, beritahukanlah kepadaku sehingga aku akan bermadzhab dengannya. Sama saja bagiku, apakah perawinya itu orang Kufah, ataukah orang Basrah, ataukah orang Syam.”
Demikianlah para Ulama bersikap tawadlu sebagai kepribadian utama mereka. Sehingga tidak menjadi masalah bagi mereka bila guru mengambil manfaat dari muridnya dan muridnya yang diambil manfaat oleh gurunya tidak pula kemudian menjadi congkak dengannya. Tetap saja sang murid mengakui dan mengambil manfaat dari gurunya, meskipun sang guru mengakui di depan umum tentang ketinggian ilmu si murid. Guru-guru utama Imam Asy Syafi`ie, Imam Malik dan Imam Sufyan bin Uyainah, dengan terang-terangan mengakui keutamaan ilmu As-Syafi`ie. Bahkan Imam Sufyan bin Uyainah banyak bertanya kepada Imam Asy-Syafi`ie saat Imam Syafiie ada di majelisnya. Padahal Imam Asy-Syafi`ie duduk di majelis itu sebagai salah satu murid beliau, dan bersama para hadirin yang lainnya, mereka selalu mengerumuni Imam Sufyan untuk menimba ilmu daripadanya. Tetapi meskipun demikian, Imam Syafi`ie tidak terpengaruh oleh sanjungan gurunya. Beliau tetap mendatangi majelis gurunya dan memuliakannya. Di samping itu, hal yang amat penting pula dari pernyataan Imam Asy-Syafi`ie kepada Imam Ahmad bin Hanbal tersebut di atas, menunjukkan kepada kita betapa kuatnya semangat beliau dalam merujuk kepada hadits shahih untuk menjadi pegangan dalam bermadzhab, dari manapun hadits shahih itu berasal.
Imam Asy-Syafi`ie menyatakan pula: “Semua hadits yang dari Nabi صلي الله عليه وسلم maka itu adalah sebagai omonganku. Walaupun kalian tidak mendengarnya dariku.”
Demikian beliau memberikan patokan kepada para murid beliau, bahwa hadits shahih itu adalah dalil yang sah bagi segala pendapat dalam agama ini. Maka pendapat dari siapapun bila menyelisihi hadits yang shahih, tentu tidak akan bisa menggugurkan hadits shahih itu. Bahkan sebaliknya, pendapat yang demikianlah yang harus digugurkan dengan adanya hadits shahih yang menyelisihinya.
P e n u t u p :
Masih banyak mutiara hikmah yang ingin kami tuangkan dalam tulisan ini dari peri hidup Imam Asy-Syafi`ie. Namun dalam kesempatan ini, rasanya tidak cukup halaman yang tersedia untuk memuat segala kemilau mutiara hikmah peri hidup beliau itu. Bahkan telah ditulis oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah kitab-kitab tebal yang berisi untaian mutiara hikmah peri hidup Imam besar ini. Seperti Al-Imam Al-Baihaqi menulis kitab Manaqibus Syafi`ie , juga Ar-Razi menulis kitab dengan judul yang sama. Kemudian Ibnu Abi Hatim menulis kitab berjudul Aadaabus Syaafiie . Dan masih banyak lagi yang lainnya. Itu semua menunjukkan kepada kita, betapa agungnya Imam besar ini di mata para Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Semoga Allah Ta`ala menggabungkan kita di barisan mereka di hari kiamat nanti. Amin ya Mujibas sailin .
Disalin dari:
http://ahlulhadiits.wordpress.com/

Biografi Imam Malik bin Anas


Nama dan Nasab Beliau
Beliau adalah al-Imam Abu Abdillah Malik bin Anas bin bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin Harits Dzu Ashbah bin Auf bin Ma­lik bin Zaid bin Syaddad bin Zur'ah Himyar al-Ashghar al-Himyari ke­mudian al-Ashbahi al-Madani.
Ibu beliau adalah Aliyah bintu Syarikal-Azdiyyah.
Kelahiran Beliau
Beliau dilahirkan pada tahun 93 H di Madinah.
Sifat-sifat Beliau
Beliau berwajah tampan, berkulit putih kemerah-merahan, berperawakan tinggi besar, ber­jenggot lebat, pakaiannya selalu bersih, suka berpakaian berwarna putih, jika memakai imamah seba­gian diletakkan di bawah dagunya dan ujungnya diuraikan di antara kedua pundaknya.
Beliau selalu memakai wangi-wangian dari misik dan yang lain­nya.
Beliau masyhur dengan kecer­dasan, keshalihan, keluhuran ji­wanya, dan kemuliaan akhlaqnya.

Pertumbuhan dan Guru-guru Beliau
Beliau رحمه الله menuntut ilmu ke­tika masih berusia belasan tahun. Ketika berusia 21 tahun beliau su­dah mencapai tingkatan berfatwa dan bermajelis. Banyak ulama yang mengambil ilmu riwayat dari beliau ketika beliau masih begitu muda.
Banyak para penuntut ilmu dari segala penjuru datang kepada beliau pada akhir kekhalifahan Abu Ja'far al-Manshur dan bertambah banyak pada kekhilafahan Harun ar-Rasyid hingga beliau wafat.
Beliau mengambil ilmu dari Nafi' Maula Ibnu Umar, Sa'id al-Maqburi, Amir bin Abdullah bin Zubair, Ibnul Munkadir, az-Zuhri, Abdullah bin Dinar, dan banyak lagi dari selain mereka yang jum­lahnya melebihi 1400 orang.
Murid-murid Beliau
Di antara guru-guru beliau yang mengambil riwayat dari be­liau adalah paman beliau Abu Suhail bin Abu Amir, Yahya bin Abu Katsir, az-Zuhri, Yahya bin Sa'id, Ya-zid bin Had, Zaid bin Abu Unaisah, Umar bin Muhammad bin Zaid, dan selain mereka.
Di antara murid-murid beliau adalah Ma'mar bin Rasyid, Ibnu Juraij, Abu Hanifah, asy-Syafi'i, Amr bin Harits, al-Auza'i, Syu'bah, Sufyan ats-Tsauri, Abdullah bin Mubarak, Abdul Azizad-Darawardi, Ibnu Abi Zinad, Ibnu Ulayyah, Ya­hya bin Abu Zaidah, Abu Ishaq al-Fazari, Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, Abdurrahman bin Qasim, Abdurrahman bin Mahdi, Ma'n bin Isa, Abdullah bin Wahb, Musa bin Thariq, Nu'man bin Abdussalam, Waki' bin Jarrah, Walid bin Muslim, Yahya al-Qaththan, dan selain me­reka.
Murid beliau yang terakhir meninggal adalah perawi kitab al-Muwaththa' Abu Hudzafah Ahmad bin Isma'il as-Sahmi, dia hidup 80 tahun sepeninggal al-Imam Malik.

Hadits yang Mengisyaratkan Tentang Keutamaan Beliau:
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه  bah­wasanya Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
لَيَضْرِبَنَّ النَّاسُ أَكْبَادَ الإِبِلِ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ فَلاَ يَجِدُوْنَ عَالِـمًا أَعْلَمَ مِنْ عَالِـمِ الْـمَدِيْنَةِ
Sungguh manusia akan menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu, maka mereka tidak mendapati seorang alim pun yang lebih berilmu dibandingkan dengan ulama Ma­dinah. (Diriwayatkan oleh Nasa'i dalam Sunan Kubra 2/489 dan Ibnu Abi Hatim dalam Taqdimatul Jarh wat Ta'dil hal. 11-12 dan berkata adz-Dzahabi dalam Siyar 8/56: Hadits ini sanadnya bersih dan matan­nya gharib)
Abdurrazaq bin Hammam berkata:"Kami memandang bahwa dia adalah Malik bin Anas (yaitu dalam sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم ... mereka ti­dak mendapati seorang alim yang lebih berilmu dibandingkan dengan ulama Madinah)"
Sufyan bin Uyainah berkata: "Dulu aku mengatakan dia adalah Sa'id bin Musayyib kemudian seka­rang aku mengatakan bahwa dia adalah Malik yang dia tidak ada bandingannya di Madinah."
Abui Mughirah al-Makhzumi menyebutkan bahwa makna ha-dits di atas adalah selama kaum muslimin menuntut ilmu mereka tidak mendapati orang yang lebih berilmu daripada seorang ulama di Madinah.
Adz-Dzahabi berkata: "Tidak ada di Madinah seorang ulama pun setelah tabi'in yang menyeru­pai Malik dalam keilmuan, fiqh, ke­agungan, dan hafalan."
Fiqh dan Keilmuan Beliau
Al-Imam asy-Syafi'i berkata: "Seandainya tidak ada Malik dan Sufyan maka sungguh akan hilang­lah ilmu Hijaz."
Al-Imam asy-Syafi'i juga ber­kata: "Muhammad bin Hasan -sa­habat Abu Hanifah- berkata kepadaku:'Siapakah yang lebih berilmu tentang al-Qur'an, sahabat kami (yaitu Abu Hanifah) atau sahabat kalian (yaitu Malik)?' Aku berkata:
'Secara adil ?' Dia berkata:'Ya.'Aku berkata: Aku bertanya kepadamu dengan nama Alloh siapakah yang lebih berilmu tentang al-Qur'an, sahabat kami atau sahabat kalian?' Dia berkata: 'Sahabat kalian (yaitu Malik).' Aku berkata: 'Siapakah yang lebih berilmu tentang Sunnah, sahabat kami atau sahabat kalian?' Dia berkata: 'Sahabat ka­lian (yaitu Malik).'Aku berkata:'Aku bertanya kepadamu dengan nama Alloh siapakah yang lebih berilmu tentang perkataan para sahabat Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan perkataan para ulama terdahulu, sahabat kami atau sahabat kalian?' Dia berkata: 'Sahabat kalian (yaitu Malik).'" Asy-Syafi'i berkata: "Maka aku berkata: 'Tidak tersisa sekarang kecuali qiyas, sedangkan qiyas adalah analogi pada pokok-pokok ini, orang yang tidak tahu pokok-pokok ini, pada apa dia mengqiyaskan sesu­atu?'"
Abu Hatim ar-Razi berkata: "Malik bin Anas adalah seorang yang tsiqah, imam penduduk Hi­jaz, dia adalah murid Zuhri yang terdepan. Jika penduduk Hijaz menyelisihi Malik, maka yang benar adalah Malik."
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Malik bin Anas adalah yang paling kokoh dari manusia dalam hadits."
Kehati-Hatian Beliau Dalam Berfatwa
Abu Mush'ab berkata: "Aku mendengar Malik berkata: 'Aku ti­dak berfatwa hingga 70 orang ber­saksi bahwa aku layak berfatwa.'"
Abdurrahman bin Mahdi ber­kata: "Kami berada di sisi al-Imam Malik bin Anas, tiba-tiba datang seseorang kepadanya seraya ber­kata: 'Aku datang kepadamu dari jarak 6 bulan perjalanan. Pen­duduk negeriku menugaskan kepadaku agar aku menanyakan kepadamu suatu permasalahan.' Al-Imam Malik berkata:'Tanyakan­lah!'Maka orang tersebut bertanya kepadanya suatu permasalahan. Al-Imam Malik menjawab: 'Saya tidak bisa menjawabnya.' Orang tersebut terhenyak, sepertinya dia membayangkan bahwa dia telah datang kepada seseorang yang tahu segala sesuatu, orang terse­but berkata: 'Lalu apa yang akan aku katakan kepada penduduk negeriku jika aku pulang kepada mereka?' Al-Imam Malik berkata: 'Katakan kepada mereka: Malik ti­dak bisa menjawab.'"
Khalid bin Khidasy berkata: "Aku datang kepada Malik dengan membawa 40 masalah, tidaklah dia menjawabnya kecuali 5 masalah."
Perhatian Beliau Kepada Kitabullah
Khalid al-Aili berkata: "Aku ti­dak pernah melihat seorang yang lebih besar perhatiannya kepada Kitabullah dibandingkan Malik bin Anas."
Abdullah bin Wahb berkata: "Aku bertanya kepada saudara perempuan Malik bin Anas: 'Apa­kah kesibukan Malik di rumahnya?' Dia menjawab: 'Mushaf dan tilawah.'"
Tentang Akal dan Adab Be­liau
Abdurrahman bin Mahdi ber­kata: "Aku tidak pernah melihat ahli hadits yang lebih bagus akal­nya dibandingkan Malik bin Anas."
Abu Mush'ab berkata: "Aku ti­dak pernah sekalipun mendengar Malik menyuruh orang-orang berdiri, dia hanya berkata: 'Kalau kalian menghendaki, kembalilah.'"
Abdullah bin Wahb berkata: "Yang kami nukil dari adab Malik lebih banyak daripada yang kami pelajari dari ilmunya."

Ittiba'Beliau Kepada Sunnah
Abdullah bin Wahb berkata: "Aku mendengar Malik ditanya oleh seseorang tentang masalah menyela-nyela jari-jari kedua kaki ketika berwudhu, maka dia ber­kata: 'Hal itu tidak disyari'atkan atas manusia.'" Abdullah bin Wahb berkata: "Aku biarkan dia sampai ketika sudah sepi dari manusia aku katakan kepadanya:'Kami memiliki hadits tentang itu.' Maka dia ber­kata: Apa itu?' Aku berkata: 'Telah mengkhabarkan kepada kami Laits bin Sa'd, Ibnu Lahi'ah, dan Amr bin Harits dari Yazid bin Amr al-Ma'afiri dari Abu Abdirrahman al-Hubulli dari Mustaurid bin Sy-addad al-Qurasyi dia berkata: Aku melihat Rasulullah صلي الله عليه وسلم menggosok sela-sela jari-jari kakinya dengan kelingkingnya! Malik berkata: 'Ha­dits ini hasan, aku belum pernah mendengarnya kecuali saat ini.'" Abdullah bin Wahb berkata: "Ke­mudian sesudah itu aku men­dengar Malik ditanya tentang hal tersebut dan dia memerintahkan agar menyela-nyela jari-jari kaki ketika berwudhu."
Di Antara Perkataan-perkataan Beliau
Al-Imam Malik berkata: "Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang: (1) Orang dungu yang menampakkan kedunguannya -meskipun dia paling banyak ri­wayatnya-, (2) Ahli bid'ah yang mengajak kepada hawa nafsu­nya, (3) Orang yang biasa berdus­ta ketika bicara dengan manusia -meskipun aku tidak menuduh dia berdusta dalam hadits- (4) Orang shalih yang banyak beribadah jika dia tidak hafal hadits yang dia riwayatkan."
Beliau berkata: "Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan para khalifah sesudah beliau telah membuat sunnah-sunnah, mengambil sunnah-sunnah terse­but adalah ittiba' kepada Kitabul­lah, penyempurna ketaatan kepada Alloh, dan kekuatan di atas agama Alloh. Tidak boleh bagi seorang pun mengubah dan mengganti sunnah-sunnah tersebut dan me­lihat kepada sesuatu yang menye-lisihinya. Orang yang mengambil sunnah-sunnah tersebut maka dialah orang yang mendapatkan petunjuk. Orang yang meminta pertolongan dengannya maka dia akan tertolong. Dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah mengikuti selain jalan orang-orang mu'min, Alloh memalingkannya sebagaimana dia berpaling dan memasukkannya ke dalam jahannam yang merupakan sejelek-jelek tempat kembali."
Al-Imam asy-Syafi'i berkata: "Adalah al-Imam Malik jika di­datangi oleh sebagian ahli bid'ah, dia mengatakan: 'Adapun aku maka berada di atas kejelasan dari agamaku, adapun kamu maka seorang yang masih ragu, pergilah kepada orang yang ragu sepertimu dan debatlah dia!'"
Ja'far bin Abdullah berkata: "Kami di sisi Malik, tiba-tiba datang seseorang yang berkata: 'Wahai Abu Abdillah, Alloh bersemayam di atas 'Arsy, bagaimana istiwa' itu?' Tidaklah Malik marah dari sesuatu melebihi marahnya pada pertanyaan orang tersebut, dia melihat ke tanah dan menohoknya dengan batang kayu yang ada di tangan­nya hingga bercucuran keringat­nya, kemudian dia mengangkat kepalanya dan membuang batang kayu tersebut seraya mengatakan: 'Kaifiyyat dari istiwa' tidak diketa­hui, istiwa' bukanlah perkara yang majhul, iman kepada istiwa'adalah wajib, dan bertanya tentang kaifiyyatnya adalah bid'ah, dan aku menduga kamu adalah seorang ahli bid'ah." Maka kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis.

Cobaan Beliau
Ibnu Jarir berkata: "Malik per­nah dipukul dengan cambuk." Ke­mudian Ibnu Jarir membawakan sanadnya sampai Marwan ath-Thathari bahwasanya Abu Ja'far al-Manshur melarang Malik dari menyampaikan hadits: 'Tidak ada thalaq bagi orang yang dipaksa', kemudian ada orang yang menye­lundup di majelisnya menanyakan hadits tersebut hingga Malik me­nyampaikannya di depan manusia, maka Abu Ja'far kemudian men­cambuk Malik."
Muhammad bin Umar berkata: "Sesudah kejadian tersebut Malik semakin naik derajatnya di mata manusia."
Adz-Dzahabi berkata: "Inilah buah dari ujian yang terpuji, akan mengangkat kedudukan hamba di sisi orang-orang yang beriman."
Tulisan-tulisan Beliau:
Di antara tulisan-tulisan beliau adalah: al-Muwaththa' -yang di­katakan oleh al-Imam asy-Syafi'i. Tidak ada kitab dalam masalah ilmu yang yang lebih banyak benarnya dibandingkan dengan Muwaththa' Malik-, Risalah fil Qadar yang dikirimkan kepada Abdullah bin Wahb, an-Nujum wa Manazilul Qamar yang diriwayatkan oleh Sahnun dari Nafi' dari beliau, Risalah fil Aqdhiyah, Juz dalam Tafsir, Kitabus Sir, Risalah Ha Laits fi Ijma' Ahlil Ma­dinah, dan yang lainnya.
Wafat Beliau
Al-Imam Malik wafat di pagi hari 14 Rabi'ul Awwal tahun 179 H di Madinah dalam usia 89 tahun. Semoga Allah meridhainya dan menempatkannya dalam keluasan jannah-Nya.
Rujukan
Taqdimatul Jarh wat Ta'dil oleh Ibnu Abi Hatim hal. 11-32, dan Siyar A'lam Nubala oleh adz-DzanVbi 8/48-135.

Disalin dari:
Al-Imam Malik bin Anas, Imam Ahli Madinah
Oleh: Abu Aisyah
Majalah al-Furqon Ed.9 th.V 1427 H/ 2006 M

Ensiklopedia Hadits Lemah : Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina

Kamis, 15-Maret-2007
Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah Gowa


Hadits dho’if (lemah), apalagi palsu, tidak boleh dijadikan dalil, dan hujjah dalam menetapkan suatu aqidah, dan hukum syar’i di dalam Islam. Demikian pula, tidak boleh diyakini hadits tersebut sebagai sabda Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam-
Diantara hadits-hadits dho’if ‘lemah’, hadits yang masyhur digunakan oleh para khatib, dan da’ii dalam mendorong manusia untuk menuntut ilmu dimana pun tempatnya, sekalipun jauhnya sampai ke negeri Tirai Bambu, Cina.
Hadits dho’if (lemah), apalagi palsu, tidak boleh dijadikan dalil, dan hujjah dalam menetapkan suatu aqidah, dan hukum syar’i di dalam Islam. Demikian pula, tidak boleh diyakini hadits tersebut sebagai sabda Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam-

Diantara hadits-hadits dho’if ‘lemah’, hadits yang masyhur digunakan oleh para khatib, dan da’ii dalam mendorong manusia untuk menuntut ilmu dimana pun tempatnya, sekalipun jauhnya sampai ke negeri Tirai Bambu, Cina. Namun sayangnya para khatib, dan da’i kita kurang kepeduliaannya dalam mengetahui derajat hadits ini. Akhirnya, berdusta atas nama Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam-.

Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik -radhiyallahu 'anhu- dari Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam-, beliau bersabda,
اطلبوا العلم ولو بالصين
“Tuntutlah ilmu, walaupun di negeri Cina”. [HR. Ibnu Addi dalam Al-Kamil (207/2), Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan (2/106), Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (9/364), Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhol (241/324), Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ (1/7-8), dan lainnya, semuanya dari jalur Al-Hasan bin ‘Athiyah, ia berkata, Abu ‘Atikah Thorif bin Sulaiman telah menceritakan kami dari Anas secara marfu’]

Ini adalah hadits dhaif jiddan (lemah sekali), bahkan sebagian ahli hadits menghukuminya sebagai hadits batil, tidak ada asalnya. Ibnul Jauziy –rahimahullah- berkata dalam Al-Maudhu’at (1/215) berkata, ‘’Ibnu Hibban berkata, hadits ini batil, tidak ada asalnya’’. Oleh karena ini, Syaikh Al-Albaniy –rahimahullah- menilai hadits ini sebagai hadits batil dan lemah dalam Adh-Dhaifah (416).

As-Suyuthiy dalam Al-La’ali’ Al-Mashnu’ah (1/193) menyebutkan dua jalur lain bagi hadits ini, barangkali bisa menguatkan hadits di atas. Ternyata, kedua jalur tersebut sama nasibnya dengan hadits di atas, bahkan lebih parah. Jalur yang pertama, terdapat seorang rawi pendusta, yaitu Ya’qub bin Ishaq Al-Asqalaniy. Jalur yang kedua, terdapat rawi yang suka memalsukan hadits, yaitu Al-Juwaibariy. Ringkasnya, hadits ini batil, tidak boleh diamalkan, dijadikan hujjah, dan diyakini sebagai sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.


Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 01 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)



Biografi Imam Abu Hanifah


Nama dan Nasab Beliau
Beliau adalah al-Imam Abu Hanifah Numan bin Tsabit bin Zauthi at-Taimi Maula Bani Taim bin TsaTabah. Be­liau aslinya adalah keturunan bangsa Parsi.

Kelahiran Beliau
Beliau dilahirkan pada ta­hun 80 H di Kufah.

Sifat-sifat Beliau
Beliau berwajah tampan, selalu berpakaian rapi, selalu berbau harum, berperawakan sedang, fasih dalam bicaranya, dan merdu suaranya. Beliau ti­dak berbicara kecuali jika men­jawab, dan tidak bicara kecuali pada hal-hal yang perlu.
Beliau masyhur dengan ke­cerdasannya, keberaniannya, kewarasannya, kelembutan­nya, dan kedermawanannya.
Pertumbuhan dan Guru-guru Beliau
Ketika masih kecil beliau dibawa oleh ayahandanya, Tsabit bin Zauthi, ke tempat Ali bin Abu Thalib maka Ali bin Abu Thalib رضي الله عنه mendoakan berkah kepada beliau dan ke­turunan beliau.
Beliau pernah melihat Anas bin Malik رضي الله عنه ketika datang ke Kufah, hanya saja tidak pernah meriwayatkan satu pun hadits dari Anas maupun yang lain­nya dari kalangan sahabat.
Di antara guru-guru be­liau adalah Atha bin Abu Rabah yang merupakan yang paling tua dari guru-guru be­liau dan paling afdhal, asy-Syabi, Jabalah bin Suhaim, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuz, Amr bin Dinar, Thalhah bin Nafi, Nafi Maula Ibnu Umar, Qatadah, Qais bin Muslim, Aun bin Abdullah bin Utbah, Qasim bin Abdurrah­man bin Abdullah bin Masud, Muharib bin Ditsar, Abdullah bin Dinar, Hakam bin Utaibah, Alqamah bin Martsad, Ali bin Aqmar, Abdul Aziz bin Rafi, Athiyah al-Aufi, Hammad bin Abu Sulaiman yang beliau banyak belajar fiqh kepadanya, Ziyad bin Ilaqah, Salamah bin Kuhail, Ashim bin Kulaib, Si­mak bin Harb, Ashim bin Bah-dalah, Sa'id bin Masruq, Abdul Malik bin Umair, Abu Javfar al-Baqir, Ibnu Syihab az-Zuhri, Muhammad bin Munkadir, Abu Ishaq as-Sabfi, Malik bin Anas yang lebih muda dari be­liau, dan yang lainnya.
Beliau begitu memper­hatikan hadits hingga beliau menempuh perjalanan untuk mencarinya. Adapun dalam masalah fiqh dan kerumitan logika, beliau mencapai puncak ilmunya sehingga kaum mus­limin banyak yang mengambil ilmu tersebut dari beliau.

Murid-murid Beliau
Di antara murid-murid be­liau adalah putranya sendiri Hammad bin Abu Hanifah, Ibrahim bin Thahman, Asbath bin Muhammad, Ishaq al-Azraq, Asad bin Amr al-Bajali, Ismail bin Yahya ash-Shairafi, Ayyub bin Hani, Hamzah az-Zayyat yang satu thabaqah dengan beliau, Abu Ashim an-Nabil, Abdullah bin Mubarak, Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, Abu Yusuf al-Qadhi, dan yang lainnya.
Pujian Para Ulama Ke­pada Beliau
Yahya bin Mavin berkata: "Abu Hanifah tsiqah dalam masalah hadits."
Ali bin Madini berkata: "Abu Hanifah tsiqah la ba'sa bihi."
Abdullah bin Mubarak berkata: "Seandainya Alloh ti­dak menolongku dengan sebab Abu Hanifah dan Sufyan maka sungguh aku akan seperti ma­nusia pada umumnya."
Beliau juga berkata: "Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih berwibawa di majlisnya, lebih bagus sifatnya, dan lebih lembut dibanding Abu Hanifah."
Beliau juga berkata: "Abu Hanifah adalah yang paling faqih di antara manusia."
Qasim bin Ma'n berkata: "Tidak ada majelis yang lebih bermanfaat daripada majelis Abu Hanifah."
Asy-Syafii berkata: "Di­katakan kepada Malik: Apak­ah engkau pernah melihat Abu Hanifah?" Malik menjawab: 'Ya, aku melihat seorang laki-laki yang seandainya engkau bicara dengannya agar menja­dikan tiang ini menjadi emas maka sungguh dia akan men­egakkan hujjahnya."
Abu Muawiyah adh-Dharir berkata: "Kecintaan ke­pada Abu Hanifah termasuk sunnah."
Al-Kharibi berkata: "Ti­daklah mencela Abu Hanifah kecuali orang yang hasad atau orang yang jahil."
Ali bin Ashim berkata: "Se­andainya ilmu Abu Hanifah ditimbang dengan ilmu orang-orang sezamannya pasti lebih berat ilmu Abu Hanifah."
Hafsh bin Ghiyats ber­kata: "Perkataan Abu Hani­fah dalam masalah fiqh lebih lembut dibandingkan dengan syair dan tidak mencelanya kecuali orang yang jahil."
Diriwayatkan bahwasanya Amasy ditanya suatu per­masalahan maka dia berkata: "Sesungguhnya yang bisa menjawab ini adalah Numan bin Tsabit al-Khazzaz dan aku menduga bahwa dia diberkahi ilmunya.”
Hasan bin Shabbah ber­kata: "Nu'man bin Tsabit menurut pengetahuan kami sangat berhati-hati dalam me­nerima khabar, dan jika telah shahih menurutnya khabar dari Rasulullah صلي الله عليه وسلم dia tidak melampauinya kepada yang lainnya."
Abu Dawud berkata: "Se­sungguhnya Abu Hanifah adalah seorang imam, Malik adalah seorang imam, dan asy-Syafii adalah seorang imam."
Kritikan Para Ulama Kepada Beliau
Para ahli hadits membi­carakan beliau karena beliau banyak menggeluti rayi dan qiyas.
Ibnu Abdil Barr berkata: " Orang-orang yang meriwayat­kan dari Abu Hanifah, mentsiqahkannya, dan memujinya lebih banyak daripada orang-orang yang mengkritiknya."
Kezuhudan Beliau
Beliau pernah diminta oleh Ibnu Hubairah untuk menjadi qadhi tetapi beliau enggan meskipun beliau dipukul agar mau menjadi qadhi.
Mutsanna bin Raja" ber­kata: "Abu Hanifah jika ber­sumpah atas nama Alloh bershadaqah satu dinar, dan jika memberikan nafkah kepada keluarganya beliau bershadaqah dengan jumlah yang semisalnya."

Ibadah Beliau
Asad bin Amr berkata: "Abu Hanifah shalat Isya" dan Shubuh dengan sekali wudhu" selama 40 tahun.
Abu Yusuf berkata: "Abu Hanifah selalu menghidup­kan malam dengan shalat dan do"a."
Di Antara Perkataan-perkataan Beliau
Abu Hanifah berkata: "Semua yang datang dari Rasulullah صلي الله عليه وسلم maka kami terima semuanya, dan apa yang datang dari para sahabat kami memilihnya, dan apa yang selain itu maka mereka laki-laki dan kami laki-laki."
Beliau berkata: "Kencing di dalam masjid lebih baik dar­ipada sebagian qiyas."
Beliau berkata: "Tidak se­layaknya seseorang menyam­paikan hadits kecuali dengan yang dia hafal ketika dia men­dengarkan hadits tersebut dari gurunya."
Beliau berkata: "Semoga Alloh melaknat Amr bin Ubaid karena dialah yang membuka pintu ilmu kalam kepada ma­nusia."
Beliau berkata: "Semoga Alloh membinasakan Jahm bin Shafwan dan Muqatil bin Sulaiman, yang ini berlebihan dalam menafikan sifat dan yang itu berlebihan dalam tasybih."
Beliau berkata: "Tidak ha­lal atas seorang pun mengam­bil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya."
Beliau berkata: "Orang yang tidak tahu dalilku haram atasnya berfatwa dengan per­kataanku."
Beliau berkata: "Jika hadits itu shahih maka dia adalah madzhabku."
Beliau berkata: "Sesung­guhnya kami adalah manusia, kami mengatakan suatu per­kataan hari ini kemudian be­soknya kami rujuk."
Beliau berkata: "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم, maka tinggalkanlah perkata­anku.

Pemikiran Irja' Beliau
Beliau dengan imamah be­liau dan kegigihan beliau un­tuk ittiba kepada dalil tidak lepas dari kekurangan dan ke­salahan layaknya seorang ma­nusia yang tidak mashum.
Telah masyhur dari beliau pemikiran Irja yaitu bahwa be­liau memandang bahwa Iman adalah pembenaran dengan hati dan pengakuan dengan lisan, dan bahwasanya amal­an tidak masuk dalam definisi Iman.
Hal ini menyelisihi kes­epakatan para ulama salaf bah­wasanya Iman adalah pem­benaran dengan hati, perkata­an, dan perbuatan sebagaima­na didukung dengan banyak sekali dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah.
Abu Abdurrahman al-Muqri berkata: "Abu Hanifah demi Alloh adalah seorang murjiah, dia menyeruku ke­pada Irja' tetapi aku enggan." (as-Sunnah, Abdullah bin Ah­mad, 1/223)
Yahya bin Main berkata: "Abu Hanifah adalah seorang murjiah dan dia termasuk pe­nyeru." (as-Sunnah, Abdullah bin Ahmad, 1/226)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa al-Imam Abu Hanifah terpen­garuh oleh guru beliau Hammad bin Abu Sulaiman yang mengatakan amalan tidak ter­masuk dalam penamaan Iman, dan bahwa Hammad bin Abu Sulaiman dalam masalah ini menyelisihi guru-gurunya sep­erti Ibrahim an-Nakhai dan yang lainnya yang begitu keras di dalam melawan Irja (Majmu Fatawa 7/119)
Hanya saja telah datang be­berapa riwayat dari beliau yang mengisyaratkan bahwasanya beliau telah rujuk (bertaubat) dari pemikiran murjiah seba­gaimana riwayat dari Ibnu Abdil Barr dengan sanadnya dari Hammad bin Zaid bahwasanya dia telah rujuk dan meninggal­kan pemikiran Irja'nya.
Kemudian Hammad bin Zaid membawakan riwayat hadits "Manakah Islam yang lebih afdhal?..." dan berkata kepa­da Abu Hanifah: "Tidakkah engkau melihat bahwasanya Rasulullah صلي الله عليه وسلم ketika ditanya manakah Islam yang lebih utama maka Rasulullah صلي الله عليه وسلم men­jawab: Iman, kemudian beliau menjadikan hijrah dan jihad termasuk Iman?" Maka terdi­amlah Abu Hanifah dan ber­kata sebagian sahabat beliau kepada beliau: "Tidakkah eng­kau menjawabnya wahai Abu Hanifah?" Abu Hanifah ber­kata: "Aku tidak menjawabnya karena dia membawakan hal ini dari Rasulullah صلي الله عليه وسلم." (at-Tamhid, Ibnu Abdil Barr, 9/247).1
Inilah sikap Abu Hanifah dan para imam terhadap nash syari: selalu menerima, ridha, dan pasrah dengan sempurna terhadap dalil; tidak seperti perilaku para pendewa akal sekarang yang begitu lancang dan berani terhadap nash-nash dari Alloh dan Rasul-Nya!

Cobaan Beliau
Bisyr bin Walid berkata: "Khalifah al-Manshur memin­ta Abu Hanifah agar menjadi Qadhi Negara sampai-sampai al-Manshur bersumpah bah­wa Abu Hanifah harus me­nerima jabatan tersebut, maka Abu Hanifah juga bersump­ah bahwa beliau tidak akan mau menerimanya, berkata­lah Rabi  pengawal Khalifah: 'Bagaimana Amirul Mukminin bersumpah dalam keadaan engkau bersumpah?! Abu Hanifah berkata: 'Amirul Muk­minin lebih mampu membayar kafarah sumpahnya daripada-ku." Maka beliau dijebloskan ke penjara hingga beliau meninggal dunia."
Wafat Beliau
Al-Imam Abu Hanifah wafat di Baghdad pada bulan Sya'ban tahun 150 H dalam usia 70 tahun. Semoga Allah meridhainya dan menempat­kannya dalam keluasan jannah-Nya.
Wallohu A'lam bish shawab.

Rujukan
Tarikh Baghdad oleh al-Khathib al-Baghdadi (13/323-454), Siyar A'lamin Nubala' oleh adz-Dzahabi (6/390-403), dan Thabaqah Hanafiyah (1/26-32) oleh Abdul Qadir bin Abil Wafa' al-Qurasyi.


Disalin dari:
Al-Imam Abu Hanifah, Imam Ahli Kufah dan Ahli Sunnah
Oleh: Abu Aisyah
Majalah al-Furqon Ed.8 th.V 1427 H/ 2006 M
Copyleft © 1431 H / 2009 M, Ibnu Majjah 4 Ummat Muslim

1 Imam At-Thahawi berkata: "Inilah penuturan keterangan tentang aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, menurut mahdzab para ahli fiqih Islam: Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit Al-Kufi, Abu Yusuf Ya'qub bin Ibrahim Al-Anshari dan Abu Abdillah Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani..dst:
”Iman adalah [pembenaran dalam hati], pengakuan dengan lidah, dan pembuktian dengan (amalan) anggota badan. (lihat Aqidah Thahawiyah)  [Ibnu Majjah].